Semuanya berawal ketika aku kehilangan ayah kandungku pada usia 18
tahun. Ketika itu, roda ekonomi keluarga kami tidak terlalu terguncang,
karena Ibu pandai mencari uang. Semasa ayah masih hidup, Ibu sudah
menopang ekonomi keluarga dengan bisnis kateringnya. Oleh karena itu,
sepeninggal Ayah,Ibu tidak berpikiran untuk mencari penggantinya,
lantaran terlalu sibuk mengurusku dan kedua adik laki-lakiku.
Dua tahun berselang setelah kematian Ayah, tiba-tiba kami dikejutkan
dengan perkataan Ibu yang mohon restu untuk menikah kembali dengan Pak
Juwono(45). Kami memang sudah mengenalnya dengan baik, karena dia sering
bertandang kerumah kami. Namun, kami berpikir Pak Juwono hanyalah teman
baik Ibu. Sebab Pak Juwono bertamu ke rumah kami seperti halnya
tamu-tamu yang lain. Lebih-lebih Ibu juga bersikap biasa-biasa saja. Ibu
tidak menunjukkan dalam kondisi tengah jatuh cinta.
Kami semua merestui keinginan Ibu untuk menikah lagi. Pertama, karena usia Ibu masih tergolong muda, 38 tahun, untuk mengarungi hidup ini sendirian. Kedua, karena kami tahu bahwa Pak Juwono berstatus duda tanpa anak. Pak Juwono adalah pria yang matang, penyayang,dan bertanggung jawab. Aku dan kedua adikku sudah cukup dekat dengannya.
Masuknya Pak Juwono sebagai anggota baru keluarga kami memang membawa warna-warna lain dalam kehidupan keluarga kami. Aku pribadi sangat senang dengan adanya figur seorang ayah pengganti. Terus terang, sebagai anak perempuan satu-satunya aku haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Apalagi di usia 20 tahunan aku ingin ada yang menuntunku dalam urusan cinta dan berhubungan dengan pria. Aku harap bisa menimba pengalaman dari ayah tiriku ini.
Kedekatanku dengan ayah tiriku membuat Ibu bangga. Beliau senang melihat kami semua akrab dengan suami barunya. Bahkan, boleh dikatakan aku bersikap agak manja kepadanya. Setiap pulang sekolah, aku pasti segera mencari ayah tiriku untuk menceritakan pengalamanku di kampus. Beliau akan dengan sabar mendengar ceritaku, kemudian dengan bijak menasihatiku bila ada hal-hal yang dianggapnya tidak ’sesuai’.
Kami semua merestui keinginan Ibu untuk menikah lagi. Pertama, karena usia Ibu masih tergolong muda, 38 tahun, untuk mengarungi hidup ini sendirian. Kedua, karena kami tahu bahwa Pak Juwono berstatus duda tanpa anak. Pak Juwono adalah pria yang matang, penyayang,dan bertanggung jawab. Aku dan kedua adikku sudah cukup dekat dengannya.
Masuknya Pak Juwono sebagai anggota baru keluarga kami memang membawa warna-warna lain dalam kehidupan keluarga kami. Aku pribadi sangat senang dengan adanya figur seorang ayah pengganti. Terus terang, sebagai anak perempuan satu-satunya aku haus akan perhatian dan kasih sayang seorang ayah. Apalagi di usia 20 tahunan aku ingin ada yang menuntunku dalam urusan cinta dan berhubungan dengan pria. Aku harap bisa menimba pengalaman dari ayah tiriku ini.
Kedekatanku dengan ayah tiriku membuat Ibu bangga. Beliau senang melihat kami semua akrab dengan suami barunya. Bahkan, boleh dikatakan aku bersikap agak manja kepadanya. Setiap pulang sekolah, aku pasti segera mencari ayah tiriku untuk menceritakan pengalamanku di kampus. Beliau akan dengan sabar mendengar ceritaku, kemudian dengan bijak menasihatiku bila ada hal-hal yang dianggapnya tidak ’sesuai’.
Kadang-kadang atas ijin Ibu, aku mengajak ayah tiriku berjalan-jalan
ke mall. Setelah mencicipi hidangan fast food kami mampir untuk
nongkrong di toko buku. Aku mempunyai hobi membaca buku filsafat dan
psikologi, sama seperti beliau.
Tanpa kusadari aku semakin dekat dan semakin akrab kepada ayah
tiriku, aku sudah semakin cuek aja dan tidak malu lagi semisalnya keluar
dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk mandi sebagai penutup
bagian-bagian tubuhku yang vital dihadapan ayahku. Dan kadangkala ayahku
pula yang menggendongku ke tempat tidurku apabila aku kedapatan
ketiduran di ruang tamu karena ketiduran akibat mataku yang kelelahan
karena membaca buku ataupun menonton telivisi.
Lama-kelamaan aku semakin mengagumi sifat-sifat kedewasaan yang
dimiliki oleh ayah tiriku, dan ada rasa perasaan khusus tertentu yang
tidak bisa kuterjemahkan, entahlah apakah itu adalah perasaan cinta?
Mungkin itulah alasannya aku selalu menampik setiap pernyataan cinta
yang dilontarkan oleh teman-teman priaku. Terus terang aku tidak
tertarik dengan teman-teman pria sebayaku yang cenderung manja dan
kekanak-kanakan. Sebaliknya aku mengagumi pria-pria yang dewasa dan
matang. Rasanya aku betah berada disisi mereka untuk mendengar cerita
ataupun nasehat-nasehatnya, dan itu semuanya kudapatkan penuh dari ayah
tiriku ini.
Rupanya gejala ini juga dirasakan dan ditangkap oleh ayah tiriku.
Kalau sebelum pergi ke suatu tempat, aku biasa mencium pipi Ibu dan Ayah
tiriku. Sekarang bila ibu tidak ada, Ayah akan membalas mencium pipiku.
Semula aku merasa kaget dan ada sedikit perasaan malu, bukan
kenapa-kenapa ini adalah ciuman pertama dari seorang laki-laki kepadaku
dan sekaligus adalah ayahku. Bahkan pernah suatu waktu aku terperangah
ketika ayah tidak hanya membalas mencium pipiku, melainkan juga bibirku.
Melihat wajahku memerah, karena aku belum pernah pacaran, Ayah hanya
tersenyum simpul.
Kejadian seperti itu terus berulang ketika ibuku ada di dapur dan
kebetulan aku berpamitan mau ke kampus. Dan akupun mulai terbiasa dengan
‘pamitan’ gaya baru dari ayah tiriku. Semakin lama kami berani
melakukannya lebih lama, kami pernah melakukannya selama beberapa menit
dengan panasnya. Kalau tidak mengingat Ibu yang ada di dapur yang
sewaktu-waktu bisa memergoki mungkin ayahku tidak akan melepaskanku dari
pagutannya.
Beberapa waktu berselang, suatu saat Ibu harus menjenguk salah satu
keponakannya yang dirawat di rumah sakit di Bogor. Kebetulan kedua
adikku telah memasuki masa liburan sekolah dan keduanya mengantar dan
menemani ibu selama di Bogor. Alhasil hanya aku dan Ayah tiriku yang ada
di rumah sekarang ini. Menyadari tidak ada orang lain, sebenarnya
hatiku berdegup kencang menyadari saat-saat yang tidak terduga tinggal
berdua saja dengan Ayah tiriku yang amat kukagumi.
Ketika aku pulang kuliah menjelang sore hari, beliau sudah menungguku
di teras rumah dan terlihat kegembirannya yang terbias di matanya
ketika menyambut kepulanganku. “Pulangnya kog malam, Non?” tanya ayah
dengan senyum khasnya.
Aku menjawab dengan santai, “Tadi jalan-jalan dengan teman Yah. “Senyumnya mendadak agak hilang ketika keceritakan aku berjalan-jalan dengan teman-teman cowok kampusku. Aku tertawa dalam hati melihat sikap ayah tiriku yang terlihat sedikit menyimpan rasa cemburu.
Aku menjawab dengan santai, “Tadi jalan-jalan dengan teman Yah. “Senyumnya mendadak agak hilang ketika keceritakan aku berjalan-jalan dengan teman-teman cowok kampusku. Aku tertawa dalam hati melihat sikap ayah tiriku yang terlihat sedikit menyimpan rasa cemburu.
Sehabis mandi seperti biasanya aku tetap hanya menggunakan handuk melalui ayah menuju ke arah kamarku.
“Nia, apakah cowok yang menemani kamu adalah pacar kamu?”, selidik ayah tiriku.
“Sebentar ayah, Nia mau berpakaian dulu, dan nanti akan Nia ceritakan seluruhnya ke Ayah”, jawabku sambil tetap menuju ke arah kamarku, sepintas kulihat ayahku seperti berdiri dari sofa tempat duduknya. Aku menutup pintu kamar dan mulai mengeringkan rambutku dengan menggunakan kipas angin yang kunyalakan.
“Nia, apakah cowok yang menemani kamu adalah pacar kamu?”, selidik ayah tiriku.
“Sebentar ayah, Nia mau berpakaian dulu, dan nanti akan Nia ceritakan seluruhnya ke Ayah”, jawabku sambil tetap menuju ke arah kamarku, sepintas kulihat ayahku seperti berdiri dari sofa tempat duduknya. Aku menutup pintu kamar dan mulai mengeringkan rambutku dengan menggunakan kipas angin yang kunyalakan.
Tiba-tiba aku mendengar suara derit pintu kamarku terbuka dan kulihat
ayah tiriku berjalan masuk menghampiriku. Karena aku masih terbalut
dengan handuk aku cuek saja menerima kehadiran ayah tiriku meskipun
sesungguhnya hatiku terasa dag dig dug.
“Aduhh.., ayah nih kog penasaran amat sih, dibilang entar juga pasti diceritain”, kataku menggoda sembari tetap mengeringkan rambutku yang masih agak basah.
“Nia, kamu serius yah berpacaran dengan cowo yang tadi itu?”, masih dengan penasaran ayahku terus menanyaiku.
“Hmm…, Kalo ya kenapa…, kalo tidak juga kenapa?” tanyaku memancing perasaan ayah tiriku.
“Kamu bandel yahh…, udah main rahasia-rahasiaan” ucapnya seraya tiba-tiba tangannya menggelitik pinggulku.
“Aduhh.., ayah nih kog penasaran amat sih, dibilang entar juga pasti diceritain”, kataku menggoda sembari tetap mengeringkan rambutku yang masih agak basah.
“Nia, kamu serius yah berpacaran dengan cowo yang tadi itu?”, masih dengan penasaran ayahku terus menanyaiku.
“Hmm…, Kalo ya kenapa…, kalo tidak juga kenapa?” tanyaku memancing perasaan ayah tiriku.
“Kamu bandel yahh…, udah main rahasia-rahasiaan” ucapnya seraya tiba-tiba tangannya menggelitik pinggulku.
Aku tergelitik kegelian sambil meronta-ronta kecil untuk melepaskan
dari gelitikan tanggannya. Ayahku tetap menguber-uberku sambil tetap
menggelitik seluruh tubuhku, sampai akhirnya kita berdua jatuh ke
ranjang dan ayah tetap saja menggelitik seluruh badanku. Sampai akhirnya
kita berdua cekakak cekikikan dan akihirnya aku berteriak-teriak kecil
minta ampun supaya Ayah menghentikan gelitikannya. Begitu ayah
menghentikan gelitikannya tubuhku terasa lemas dan kami berdua
ngos-ngosan akibat kehabisan nafas. Ayah tiduran disampingku di atas
ranjang sambil tetap memperhatikan wajahku yang masih bersimbah peluh.
Aku mencoba menarik napas panjang sambil memejamkan mata untuk
menghilangkan rasa lemas yang kurasakan.
Tiba-tiba aku merasakan ciuman lembut menempel di bibirku, namun aku
merasakan pagutan ciuman kali ini lebih terasa dan lebih rileks, mungkin
karena Ibu tidak ada di rumah. Akupun membiarkan bibirku dilumat dengan
lembut, baru kali ini ciumannya membuatku terasa terbang diawang-awang.
Tanpa disadari tangan ayah yang tadi mengelus lembut pinggulku…, telah
melepas handuk penutup tubuhku. Akupun baru sadar bahwa aku telah tidak
berpakaian. Sebelum aku sempat berpikir banyak, ayahku sudah memelukku
kembali dengan eratnya seraya mengelus-elus rambutku yang panjang. Terus
terang aku sangat terlena dengan sentuhan kasih sayangnya ini.
Ketika ia mengangkat wajahku, aku menundukkan wajahku yang bersemu
merah. Aku bisa mendengar suara detak jantung ayah yang berdegup kencang
saat matanya menyapu dengan bersih seluruh lekuk-lekuk tubuhku yang
sudah tidak terlindung apapun. Ayah mengelus bibirku dan tiba-tiba
memagutnya kembali dengan penuh nafsu. Aku hanya bisa pasrah dibawah
kenikmatan yang baru kurasakan ini. Bahkan aku mulai berani membalas
pagutannya. Ayah kemudian menyeretku kedalam pangkuannya di atas
ranjang. Kami terus berciuman, hingga tangannya mulai bergerak mengelus
ke daerah-daerah tubuhku yang paling sensitif.
Aku menjerit kecil ketika kurasakan tangannya yang nakal menyentuh
dan meremas-remas dengan lembut payudaraku. Sambil melumat bibirku,
ayahku secara perlahan-perlahan berusaha melepaskan seluruh pakaiannya.
Aku menjerit kecil tertahan tatkala penis ayahku keluar dari celana
dalamnya dan dalam keadaan sangat panjang dan ‘tegak’, baru kali ini aku
menyaksikan secara dekat penis seorang lelaki, bentuknya panjang
mengeras dan dibagian ujung kepala penis ayah membesar dan
berkilat-kilat bagai jamur. Belum sempat logikaku berjalan,ayah sudah
kembali memeluk dan mencumbuku kembali, kini kami sama-sama bergumul
dengan panasnya tanpa sehelai benangpun menempel di tubuh kami.
Mataku terpejam rapat sambil berteriak tertahan saat ayah tiriku
mencumbui organ kewanitaanku. Ada rasa nikmat luar biasa yang kurasakan,
hingga setiap beberapa saat badanku menggelinjang-gelinjang tak kuasa
menahan hentakan-hentakan kenikmatan yang keluar dari seluruh
sendi-sendi tubuhku. Sampai akhirnya aku merasakan benda panjang dan
hangat menyeruak memasuki vaginaku. Saat itulah aku mempersembahkan
keperawanan, kehormatan, jiwa ragaku kepada ayah tiriku. Kami bersetubuh
tanpa mempedulikan waktu, terus berpacu dan berpacu meliwati klimaks
demi klimaks hingga hampir menjelang subuh badan kami sama-sama lemas
karena merasakan klimaks yang berkali-kali hingga akhirnya kami rubuh
dan tidur berpelukan dalam satu ranjang dengan perasaan puas.
Terus terang pengalaman pertamaku berhubungan seks membawa kesan yang
luar biasa dalam hidupku. Aku sama sekali tidak merasakan kesakitan
karena ayahku tahu persis bagaimana menjalankan permainan seks kami
dengan sebaik mungkin. Malam pertama kami, kami lewatkan dengan
mengulang permainan seks hingga tiga kali. Ketika tak berdaya lagi, kami
baru berhenti. Seminggu ditinggal Ibu dan adik-adik membuat aku dan
Ayah benar-benar menikmati petualangan asmara
Selama hampir setahun menjalin asmara diam-diam dengan ayah, Ibu
mulai curiga. Apalagi, Ibu mengetahui kalau sampai berusia 21 tahun aku
belum juga mau punya pacar. Padahal aku terhitung cantik dan supel.
Apalagi ketika aku sudah menamatkan D-ii bahasa inggrisku, Ibu
mendesakku untuk mulai mencari pasangan hidup.
Ketika diam-diam kudiskusikan hal ini kepada Ayah, dia sangat
mendukungku menjalin hubungan dengan pria lain. Soalnya, Ayah mulai
mencium tanda-tanda kecurigaan di mata Ibu melihat hubunganku dengan
Ayah semakin lengket aja.
Maka ketika Wahyu,kakak kelasku yang paling gencar mendekatiku.
Kupikir apa salahnya aku membina hubungan dengannya. Apalagi wajahnya
lumayan ganteng, postur tubuhnya atletis, dan otaknya encer pula.
Singkat cerita aku kemudian serius menjalin hubungan dengannya.
Sementara itu, kisah cintaku dengan Ayah terus berlanjut. Kali ini kami
lebih banyak melakukan persetubuhan kami di luar rumah. Kadang-kadang
kami janji bertemu di hotel A atau B yang letaknya agak jauh dari kota
tempat tinggalku.
Enam bulan setelah berpacaran dengan Wahyu, keluarganya datang
melamarku. Aku menerima lamarannya dengan perasaan biasa-biasa saja.
Terus-terang perasaan cintaku telah kepersembahkan seutuhnya kepada ayah
tiriku. Aku menikah hanya untuk menutupi perselingkuhanku dengan ayah.
Untungnya, Wahyu adalah orang yang tidak mempersoalkan keperawananku
ketika kami melewatkan malam pertama. Menghadapi permainan seks Wahyu
yang tergolong pemula, aku merasa tidak puas. Kadang-kadang aku
membayangkan sedang berhubungan badan dengan ayah tiriku yang macho dan
berpengalaman. Akhirnya, aku tetap sering menelepon ayah untuk saling
bertemu di luar rumah. Usianya yang telah berkepala empat telah
mengetahui secara betul segala bentuk permainan seks yang dapat
memberikan kepuasan klimaks terhadap gadis-gadis muda seusiaku.
Bercinta dengan ayah tiriku, aku mendapatkan klimaks yang
berulang-ulang, hal yang tidak dapat kudapatkan apabila aku berhubungan
badan dengan suamiku sendiri. Aku tahu perbuatanku adalah keliru. Namun
aku tidak dapat menghapus sosok Ayah tiriku dalam kehidupanku. Aku tidak
tahu sampai kapan aku bisa menghentikan perselingkuhanku ini. Aku
hanyalah seorang wanita yang menginginkan adanya figur pria matang
disisiku.





