Malam itu aku dinner dengan clientku di sebuah cafe. Sebuah band
tampil menghibur pengunjung cafe dengan musik jazz. Lagu “I’m Old
Fashioned” dimainkan dengan cukup baik. Aku memperhatikan sang penyanyi.
Seorang gadis berusia kira-kira 26 tahun. Suaranya memang sangat jazzy.
Gadis ini wajahnya tidak terlalu cantik. Tingginya kurang lebih 160
cm/55 kg. Tubuhnya padat berisi. Ukuran payudaranya sekitar 36B.
Kelebihannya adalah lesung pipitnya. Senyumnya manis dan matanya
berbinar indah. Cukup seksi. Apalagi suaranya. Membuat telingaku fresh.
“Para pengunjung sekalian.. Malam ini saya, Felicia bersama band akan
menemani anda semua. Jika ada yang ingin bernyanyi bersama saya, mari..
saya persilakan. Atau jika ingin request lagu.. silakan”.
Penyanyi yang ternyata bernama Felicia itu mulai menyapa pengunjung
Cafe. Aku hanya tertarik mendengar suaranya. Percakapan dengan client
menyita perhatianku. Sampai kemudian telingaku menangkap perubahan cara
bermain dari sang keyboardist. Aku melihat ke arah band tersebut dan
melihat Felicia ternyata bermain keyboard juga.
Felicia bermain solo keyboard sambil menyanyikan lagu “All of Me”.
Lagu Jazz yang sangat sederhana. Aku menikmati semua jenis musik dan
berusaha mengerti semua jenis musik. Termasuk jazz yang memang ‘brain
music’. Musik cerdas yang membuat otakku berpikir setiap mendengarnya.
Felicia ternyata bermain sangat aman. Aku terkesima menemukan seorang
penyanyi cafe yang mampu bermain keyboard dengan baik. Tiba-tiba aku
menjadi sangat tertarik dengan Felicia. Aku menuliskan request laguku
dan memberikannya melalui pelayan cafe tersebut.
“The Boy From Ipanema, please.. And your cellular number. 081xx. From
Boy.”, tulisku di kertas request sekaligus menuliskan nomor HP-ku. Aku
melanjutkan percakapan dengan clientku dan tak lama kemudian aku
mendengar suara Felicia.
“The Boy From Ipanema.. Untuk Mr. Boy..?”
“The Boy From Ipanema.. Untuk Mr. Boy..?”
Bahasa tubuh Felicia menunjukkan bahwa dia ingin tahu dimana aku
duduk. Aku melambaikan tanganku dan tersenyum ke arahnya. Posisi dudukku
tepat di depan band tersebut. Jadi, dengan jelas Felicia bisa
melihatku. Kulihat Felicia membalas senyumku. Dia mulai memainkan
keyboardnya. Sambil bermain dan bernyanyi, matanya menatapku. Aku pun
menatapnya. Untuk menggodanya, aku mengedipkan mataku. Aku kembali
berbicara dengan clientku. Tak lama kudengar suara Felicia menghilang
dan berganti dengan suara penyanyi pria. Kulihat sekilas Felicia tidak
nampak. Tit.. Tit.. Tit.. SMS di HP-ku berbunyi.
“Felicia.” tampak pesan SMS di HP-ku. Wah.. Felicia meresponsku. Segera kutelepon dia.
“Hai.. Aku Boy. Kau dimana, Felicia?”
“Hi Boy. Aku di belakang. Ke kamar mandi. Kenapa ingin tahu HP-ku?”
“Aku tertarik denganmu. Suaramu sexy.. Sesexy penampilanmu” kataku terus terang. Kudengar tawa ringan dari Felicia.
“Rayuan ala Boy, nih?”
“Lho.. Bukan rayuan kok. Tetapi pujian yang pantas buatmu yang memang sexy.. Oh ya, pulang dari cafe jam berapa? Aku antar pulang ya?”
“Jam 24.00. Boleh. Tapi kulihat kau dengan temanmu?”
“Oh.. dia clientku. Sebentar lagi dia pulang kok. Aku hanya mengantarnya sampai parkir mobil. Bagaimana?”
“Okay.. Aku tunggu ya.”
“Okay.. See you soon, sexy..”
“Hai.. Aku Boy. Kau dimana, Felicia?”
“Hi Boy. Aku di belakang. Ke kamar mandi. Kenapa ingin tahu HP-ku?”
“Aku tertarik denganmu. Suaramu sexy.. Sesexy penampilanmu” kataku terus terang. Kudengar tawa ringan dari Felicia.
“Rayuan ala Boy, nih?”
“Lho.. Bukan rayuan kok. Tetapi pujian yang pantas buatmu yang memang sexy.. Oh ya, pulang dari cafe jam berapa? Aku antar pulang ya?”
“Jam 24.00. Boleh. Tapi kulihat kau dengan temanmu?”
“Oh.. dia clientku. Sebentar lagi dia pulang kok. Aku hanya mengantarnya sampai parkir mobil. Bagaimana?”
“Okay.. Aku tunggu ya.”
“Okay.. See you soon, sexy..”
Aku melanjutkan sebentar percakapan dengan client dan kemudian
mengantarkannya ke tempat parkir mobil. Setelah clientku pulang aku
kembali ke cafe. Waktu masih menunjukkan pukul 23.30. Masih 30 menit
lagi. Aku kembali duduk dan memesan hot tea. 30 menit aku habiskan
dengan memandang Felicia yang menyanyi. Mataku terus menatap matanya
sambil sesekali aku tersenyum. Kulihat Felicia dengan percaya diri
membalas tatapanku. Gadis ini menarik hingga membuatku ingin
mencumbunya.
Dalam perjalanan mengantarkan Felicia pulang, aku sengaja menyalakan
AC mobil cukup besar sehingga suhu dalam mobil dingin sekali. Felicia
tampak menggigil.
“Boy, AC-nya dikecilin yah?” tangan Felicia sambil meraih tombol AC
untuk menaikkan suhu. Tanganku segera menahan tangannya. Kesempatan
untuk memegang tangannya.
“Jangan.. Udah dekat rumahmu kan? Aku tidak tahan panas. Suhu segini aku baru bisa. Kalau kamu naikkan, aku tidak tahan..” alasanku.
“Jangan.. Udah dekat rumahmu kan? Aku tidak tahan panas. Suhu segini aku baru bisa. Kalau kamu naikkan, aku tidak tahan..” alasanku.
Aku memang ingin membuat Felicia kedinginan. Kulihat Felicia bisa
mengerti. Tangan kiriku masih memegang tangannya. Kuusap perlahan.
Felicia diam saja.
“Kugosok ya.. Biar hangat..” kataku datar. Aku memberinya stimuli ringan. Felica tersenyum. Dia tidak menolak.
“Ya.. Boleh. Habis dingin banget. Oh ya, kamu suka jazz juga ya?”
“Hampir semua musik aku suka. Oh ya, baru kali ini aku melihat penyanyi jazz wanita yang bisa bermain keyboard. Mainmu asyik lagi.”
“Haha.. Ini malam pertama aku main keyboard sambil menyanyi.”
“Oh ya? Tapi tidak terlihat canggung. Oh ya, kudengar tadi mainmu banyak memakai scale altered dominant ya?” aku kemudian memainkan tangan kiriku di tangannya seolah-olah aku bermain piano.
“What a Boy! Kamu tahu jazz scale juga? Kamu bisa main piano yah?” Felicia tampak terkejut. Mukanya terlihat penasaran.
“Yah, dulu main klasik. Lalu tertarik jazz. Belum mahir kok.” Aku berhenti di depan rumah Felicia.
“Tinggal dengan siapa?” tanyaku ketika kami masuk ke rumahnya. Ya, aku menerima ajakannya untuk masuk sebentar walaupun ini sudah hampir jam 1 pagi.
“Aku kontrak rumah ini dengan beberapa temanku sesama penyanyi cafe. Lainnya belum pulang semua. Mungkin sekalian kencan dengan pacarnya.”
“Ya.. Boleh. Habis dingin banget. Oh ya, kamu suka jazz juga ya?”
“Hampir semua musik aku suka. Oh ya, baru kali ini aku melihat penyanyi jazz wanita yang bisa bermain keyboard. Mainmu asyik lagi.”
“Haha.. Ini malam pertama aku main keyboard sambil menyanyi.”
“Oh ya? Tapi tidak terlihat canggung. Oh ya, kudengar tadi mainmu banyak memakai scale altered dominant ya?” aku kemudian memainkan tangan kiriku di tangannya seolah-olah aku bermain piano.
“What a Boy! Kamu tahu jazz scale juga? Kamu bisa main piano yah?” Felicia tampak terkejut. Mukanya terlihat penasaran.
“Yah, dulu main klasik. Lalu tertarik jazz. Belum mahir kok.” Aku berhenti di depan rumah Felicia.
“Tinggal dengan siapa?” tanyaku ketika kami masuk ke rumahnya. Ya, aku menerima ajakannya untuk masuk sebentar walaupun ini sudah hampir jam 1 pagi.
“Aku kontrak rumah ini dengan beberapa temanku sesama penyanyi cafe. Lainnya belum pulang semua. Mungkin sekalian kencan dengan pacarnya.”
Felicia masuk kamarnya untuk mengganti baju. Aku tidak mendengar
suara pintu kamar dikunci. Wah, kebetulan. Atau Felicia memang
memancingku? Aku segera berdiri dan nekat membuka pintu kamarnya. Benar!
Felicia berdiri hanya dengan bra dan celana dalam. Di tangannya ada
sebuah kaos. Kukira Felicia akan berteriak terkejut atau marah. Ternyata
tidak. Dengan santai dia tersenyum.
“Maaf.. Aku mau tanya kamar mandi dimana?” tanyaku mencari alasan. Justru aku yang gugup melihat pemandangan indah di depanku.
“Di kamarku ada kamar mandinya kok. Masuk aja.”
“Di kamarku ada kamar mandinya kok. Masuk aja.”
Wah.. Lampu hijau nih. Di kamarnya aku melihat ada sebuah keyboard.
Aku tidak jadi ke kamar mandi malah memainkan keyboardnya. Aku memainkan
lagu “Body and Soul” sambil menyanyi lembut. Suaraku biasa saja juga
permainanku. Tapi aku yakin Felicia akan tertarik. Beberapa kali aku
membuat kesalahan yang kusengaja. Aku ingin melihat reaksi Felicia.
“Salah tuh mainnya.” komentar Felicia. Dia ikut bernyanyi.
“Ajarin dong..” kataku.
“Ajarin dong..” kataku.
Dengan segera Felicia mengajariku memainkan keyboardnya. Aku duduk
sedangkan Felicia berdiri membelakangiku. Dengan posisi seperti
memelukku dari belakang, dia menunjukkan sekilas notasi yang benar. Aku
bisa merasakan nafasnya di leherku. Wah.. Sudah jam 1 pagi. Aku
menimbang-nimbang apa yang harus aku lakukan. Aku memalingkan mukaku.
Kini mukaku dan Felicia saling bertatapan. Dekat sekali. Tanganku
bergerak memeluk pinggangnya. Kalau ditolak, berarti dia tidak bermaksud
apa-apa denganku. Jika dia diam saja, aku boleh melanjutkannya.
Kemudian tangannya menepis halus tanganku. Kemudian dia berdiri. Aku
ditolak.
“Katanya mau ke kamar mandi?” tanyannya sambil tersenyum. Oh ya.. Aku melupakan alasanku membuka pintu kamarnya.
“Oh ya..” aku berdiri.
“Oh ya..” aku berdiri.
Ada rasa sesak di dadaku menerima penolakannya. Tapi aku tak
menyerah. Segera kuraih tubuhnya dan kupeluk. Kemudian kuangkat ke kamar
mandi!
“Eh.. Eh, apa-apaan ini?” Felicia terkejut. Aku tertawa saja.
Kubawa dia ke kamar mandi dan kusiram dengan air! Biarlah. Kalau mau
marah ya aku terima saja. Yang jelas aku terus berusaha mendapatkannya.
Ternyata Felicia malah tertawa. Dia membalas menyiramku dan kami
sama-sama basah kuyup. Segera aku menyandarkannya ke dinding kamar mandi
dan menciumnya!
Felicia membalas ciumanku. Bibir kami saling memagut. Sungguh nikmat
bercumbu di suhu dingin dan basah kuyup. Bibir kami saling berlomba
memberikan kehangatan. Tanganku merain kaosnya dan membukanya. Kemudian
bra dan celana pendeknya. Sementara Felicia juga membuka kaos dan
celanaku. Kami sama-sama tinggal hanya memakai celana dalam. Sambil
terus mencumbunya, tangan kananku meraba, meremas lembut dan merangsang
payudaranya. Sementara tangan kiriku meremas bongkahan pantatnya dan
sesekali menyelinap ke belahan pantatnya. Dari pantatnya aku bisa meraih
vaginanya. Menggosok-gosoknya dengan jariku.
“Agh..” kudengar rintihan Felicia. Nafasnya mulai memburu. Suaranya
sexy sekali. Berat dan basah. Perlahan aku merasakan penisku ereksi.
“Egh..” aku menahan nafas ketika kurasakan tangan Felicia menggenggam batang penisku dan meremasnya.
“Egh..” aku menahan nafas ketika kurasakan tangan Felicia menggenggam batang penisku dan meremasnya.
Tak lama dia mengocok penisku hingga membuatku makin terangsang.
Tubuh Felicia kuangkat dan kududukkan di bak air. Cukup sulit bercinta
di kamar mandi. Licin dan tidak bisa berbaring. Sewaktu Felicia duduk,
aku hanya bisa merangsang payudara dan mencumbunya. Sementara pantat dan
vaginanya tidak bisa kuraih. Felicia tidak mau duduk. Dia berdiri lagi
dan menciumi puting dadaku!
Ternyata enak juga rasanya. Baru kali ini putingku dicium dan
dijilat. Felicia cukup aktif. Tangannya tak pernah melepas penisku.
Terus dikocok dan diremasnya. Sambil melakukannya, badannya
bergoyang-goyang seakan-akan dia sedang menari dan menikmati musik.
Merasa terganggu dengan celana dalam, aku melepasnya dan juga melepas
celana dalam Felicia. Kami bercumbu kembali. Lidahku menekan lidahnya.
Kami saling menjilat dan menghisap.
Rintihan kecil dan desahan nafas kami saling bergantian membuat
alunan musik birahi di kamar mandi. Suhu yang dingin membuat kami saling
merapat mencari kehangatan. Ada sensasi yang berbeda bercinta ketika
dalam keadaan basah. Waktu bercumbu, ada rasa ‘air’ yang membuat ciuman
berbeda rasanya dari biasanya.
Aku menyalakan shower dan kemudian di bawah air yang mengucur dari
shower, kami semakin hangat merapat dan saling merangsang. Aliran air
yang membasahi rambut, wajah dan seluruh tubuh, membuat tubuh kami makin
panas. Makin bergairah. Kedua tanganku meraih pantatnya dan kuremas
agak keras, sementara bibirku melumat makin ganas bibir Felicia.
Sesekali Felicia menggigit bibirku. Perlahan tanganku merayap naik
sambil memijat ringan pinggang, punggung dan bahu Felicia. Dari bahasa
tubuhnya, Felicia sangat menikmati pijatanku.
“Ogh.. Its nice, Boy.. Och..” Felicia mengerang.
Lidahku mulai menjilati telinganya. Felicia menggelinjang geli.
Tangannya ikut meremas pantatku. Aku merasakan payudara Felicia makin
tegang. Payudara dan putingnya terlihat begitu seksi. Menantang dengan
puting yang menonjol coklat kemerahan.
“Payudaramu seksi sekali, Felicia.. Ingin kumakan rasanya..” candaku
sambil tertawa ringan. Felicia memainkan bola matanya dengan genit.
“Makan aja kalo suka..” bisiknya di telingaku.
“Enak lho..” sambungnya sambil menjilat telingaku. Ugh.. Darahku berdesir. Perlahan ujung lidahku mendekati putingnya. Aku menjilatnya persis di ujung putingnya.
“Ergh..” desah Felicia. Caraku menjilatnya lah yang membuatnya mengerang.
“Makan aja kalo suka..” bisiknya di telingaku.
“Enak lho..” sambungnya sambil menjilat telingaku. Ugh.. Darahku berdesir. Perlahan ujung lidahku mendekati putingnya. Aku menjilatnya persis di ujung putingnya.
“Ergh..” desah Felicia. Caraku menjilatnya lah yang membuatnya mengerang.
Mulai dari ujung lidah sampai akhirnya dengan seluruh lidahku, aku
menjilatnya. Kemudian aku menghisapnya dengan lembut, agak kuat dan
akhirnya kuat. Tak lama kemudian Felicia kemudian membuka kakinya dan
membimbing penisku memasuki vaginanya.
“Ough.. Enak.. Ayo, Boy” Felicia memintaku mulai beraksi.
Penisku perlahan menembus vaginanya. Aku mulai mengocoknya.
Maju-mundur, berputar, Sambil bibir kami saling melumat. Aku berusaha
keras membuatnya merasakan kenikmatan. Felicia dengan terampil mengikuti
tempo kocokanku. Kamu bekerja sama dengan harmonis saling memberi dan
mendapatkan kenikmatan. Vaginanya masih rapat sekali. Mirip dengan Ria.
Apakah begini rasanya perawan? Entahlah. Aku belum pernah bercinta
dengan perawan, kecuali dengan Ria yang selaput daranya tembus oleh jari
pacarnya.
“Agh.. Agh..” Felicia mengerang keras. Lama kelamaan suaranya makin keras.
“Come on, Boy.. Fuck me..” ceracaunya.
“Come on, Boy.. Fuck me..” ceracaunya.
Rupanya Felicia adalah tipe wanita yang bersuara keras ketika
bercinta. Bagiku menyenangkan juga mendengar suaranya. Membuatku terpacu
lebih hebat menghunjamkan penisku. Lama-lama tempoku makin cepat.
Beberapa saat kemudian aku berhenti. Mengatur nafas dan mengubah posisi
kami. Felicia menungging dan aku ‘menyerangnya’ dari belakang. Doggy
style. Kulihat payudara Felicia sedikit terayun-ayun. Seksi sekali.
Dengan usil jariku meraba anusnya, kemudian memasukkan jariku.
“Hey.. Perih tau!” teriak Felicia. Aku tertawa.
“Sorry.. Kupikir enak rasanya..” Aku menghentikan memasukkan jari ke anusnya tetapi tetap bermain-main di sekitar anusnya hingga membuatnya geli.
“Sorry.. Kupikir enak rasanya..” Aku menghentikan memasukkan jari ke anusnya tetapi tetap bermain-main di sekitar anusnya hingga membuatnya geli.
Cukup lama kami berpacu dalam birahi. Aku merasakan saat-saat
orgasmeku hampir tiba. Aku berusaha keras mengatur ritme dan nafasku.
“Aku mau nyampe, Felicia..”
“Keluarin di dalam aja. Udah lama aku tidak merasakan semburan cairan pria” Aku agak terhenti. Gila, keluarin di dalam. Kalau hamil gimana, pikirku.
“Aman, Boy. Aku ada obat anti hamil kok..” Felicia meyakinkanku. Aku yang tidak yakin. Tapi masa bodoh ah. Dia yang menjamin, kan? Kukocok lagi dengan gencar. Felicia berteriak makin keras.
“Yes.. Aku juga hampir sampe, Boy.. come on.. come on.. oh yeah..”
“Keluarin di dalam aja. Udah lama aku tidak merasakan semburan cairan pria” Aku agak terhenti. Gila, keluarin di dalam. Kalau hamil gimana, pikirku.
“Aman, Boy. Aku ada obat anti hamil kok..” Felicia meyakinkanku. Aku yang tidak yakin. Tapi masa bodoh ah. Dia yang menjamin, kan? Kukocok lagi dengan gencar. Felicia berteriak makin keras.
“Yes.. Aku juga hampir sampe, Boy.. come on.. come on.. oh yeah..”
Saat-saat itu makin dekat.. Aku mengejarnya. Kenikmatan tiada tara. Membuat saraf-saraf penisku kegirangan. Srr.. Srr..
“Aku orgasme. Sesaat kemudian kurasakan tubuh Felicia makin bergetar
hebat. Aku berusaha keras menahan ereksiku. Tubuhku terkejang-kejang
mengalami puncak kenikmatan.
“Aarrgghh.. Yeeaahh..” Felicia menyusulku orgasme.
“Aarrgghh.. Yeeaahh..” Felicia menyusulku orgasme.
Dia menjerit kuat sekali kemudian membalikkan badannya dan memelukku.
Kami kemudian bercumbu lagi. Saatnya after orgasm service. Tanganku
memijat tubuhnya, memijat kepalanya dan mencumbu hidung, pipi, leher,
payudara dan kemudian perutnya. Aku membuatnya kegelian ketika hidungku
bermain-main di perutnya. Kemudian kuangkat dia. Mengambil handuk dan
mengeringkan tubuh kami berdua. Sambil terus mencuri-curi ciuman dan
rabaan, kami saling menggosok tubuh kami. Dengan tubuh telanjang aku
mengangkatnya ke tempat tidur, membaringkannya dan kembali menciumnya.
Felicia tersenyum puas. Matanya berbinar-binar.
“Thanks Boy.. Sudah lama sekali aku tidak bercinta. Kamu berhasil memuaskanku..”
Pujian yang tulus. Aku tersenyum. Aku merasa belum hebat bercinta.
Aku hanya berusaha melayani setiap wanita yang bercinta denganku.
Memperhatikan kebutuhannya.
Aku sangat terkejut ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Sial, kami
tadi lupa mengunci pintu!! Seorang wanita muncul. Aku tidak sempat lagi
menutupi tubuh telanjangku.
“Ups.. Gak usah terkejut. Dari tadi aku udah dengar teriakan Felicia.
Tadi malah sudah mengintip kalian di kamar mandi..” kata wanita itu.
Aku kecolongan. Tapi apa boleh buat. Biarkan saja. Kulihat Felicia
tertawa.
“Kenalin, dia Gladys. Mbak.. Dia Boy.” aku menganggukkan kepalaku padanya.
“Hi Gladys..” sapaku.
“Kenalin, dia Gladys. Mbak.. Dia Boy.” aku menganggukkan kepalaku padanya.
“Hi Gladys..” sapaku.
Kemudian aku berdiri. Dengan penis lemas terayun aku mencari kaos dan
celana pendek Felicia dan memakainya. Gladys masuk ke kamar. Busyet, ni
anak tenang sekali, Pikirku. Sudah jam 2 pagi. Aku harus pulang.





